“Apakah tahun ini perayaan hari pahlawan sama maraknya dengan tahun-tahun sebelumnya? Jauh sebelum pandemi?”
Tentu tak ada upacara atau pawai untuk memperingatinya. Namun esensi yang sesungguhnya bukanlah pada bagaimana kita merayakan hari pahlawan tersebut melainkan apa saja upaya kita meneruskan perjuangan mereka? Tentu saja perjuangan yang kita lakukan saat ini tidak lagi mengandalkan fisik dan mengangkat bambu runcing atau senjata tradisional lainnya untuk melawan penjajah. Sebelum jauh membaca esai ini, setidaknya kita samakan persepsi dalam mendefinisikan kata “Pahlawan”.
Pahlawan berasal dari bahasa Sansekerta phala yang berarti hasil atau buah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pahlawan dimaknai sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah berani.
Peneliti senior Formappi Lucius Karus menilai makna pahlawan dalam konteks kekinian adalah orang yang konsisten memperjuangkan sesuatu untuk perubahan ke arah yang positif. Menurut pendapatnya pahlawan pada masa kini tak mungkin diukur dari sisi pengaruhnya yang mencakup seluruh bangsa. Akan tetapi bisa saja mereka yang ada di lingkup kecil tetapi tetap bertahan dengan misinya untuk mengubah dunia. (sumber: https://www.beritasatu.com/beritasatu/nasional/320977/arti-pahlawan-dalam-konteks kekinian)
Pertanyaannya adalah siapa saja yang layak disebut sebagai pahlawan dan apa saja yang harus tercermin dalam diri seorang pahlawan?
dengan merujuk pada pernyataan Lucius, Saya jadi teringat dengan satu sosok yang tak asing di dunia sastra. Beliau adalah Umbu Landu Paranggi - seorang seniman berkebangsaan Indonesia yang sering disebut sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa esai dan puisi yang dipublikasikan di berbagai media massa. (sumber: wikipedia)
Sosoknya yang dianggap misterius terpatahkan ketika saya berinteraksi secara langsung di Bali dalam beberapa kegiatan atau acara sastra. Begitu besar pengaruh beliau dalam memengaruhi anak-anak muda untuk mencintai sastra. Tentu saja dengan gaya kepemimpinan dan mendidik unik yang diadopsi dari Ki Hajar dewantara yaitu sistem among. Dalam dunia pendidikan, sistem among tidaklah asing bahkan negara Finlandia yang terkenal dengan kemajuan pesatnya di dunia pendidikan secara tidak langsung mengaplikasikannya.
Sistem among adalah metode mendidik yang digunakan Ki Hajar Dewantara pada Perguruan Taman Siswa yang didirikannya dan berisi asas yang sangat masyhur, yaitu , ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Dalam sistem among, ada tiga fungsi utama. Di depan, ia menjadi teladan atau contoh, di tengah menjadi pendorong atau pemberi semangat, dan di belakang mengamati kemajuan.
Tiga fungsi utama tersebut yang dilakukan oleh Umbu Landu Paranggi dan terbukti berhasil memengaruhi baik dari sisi mental maupun karya para sastrawan Indonesia. Sosok kepemimpinannya sangat kuat dengan MEMANUSIAKAN MANUSIA (Memberi ruang secara penuh dalam berkarya dan Mengapresiasi segala bentuk karya).
Dengan gaya kepemimpinan yang unik tersebut jelas tercermin bahwa kehebatan seseorang tidak terletak pada bagaimana ia merasa diri sebagai yang paling hebat atau berjasa, namun lebih pada seberapa berhasil ia melakukan proses duplikasi pada generasi penerusnya.
Dan saya rasa sudah saatnya makna pahlawan harus bergeser sesuai zaman. Tidak hanya sebatas rela berkorban dan berjasa dalam memperjuangkan sesuatu namun bagaimana ia berhasil menjadi seorang pemimpin tangguh dalam sebuah ruang lingkup mulai dari terkecil sampai terbesar.
Selamat hari Pahlawan – Semangat menjadi pahlawan.
L Margi, 2020
0 Comments
Sangat senang mendapat jejak komentar dari Anda