Hari ini Moli belum menyentuh makanan sama sekali. Dia hanya
termenung sendirian di belakang pintu sambil menunggu hujan reda. Sangat
terlihat keresahan di matanya, namun dia juga sangat takut sekali tubuhnya
kuyup oleh air. Sama halnya ketakutanku padanya beberapa tahun lalu. Dan sampai
pada akhirnya dia menjadi sahabatku yang paling setia. Aku sangat paham sekali
bagaimana perasaan takut itu mengikat pikiran kita.
Aku menghampirinya, membawakan segelas susu dan semangkuk
makanan buatnya. Kudekati, kuusap tubuhnya. Tak ada suara riang seperti
beberapa waktu lalu. Tak ada. Dia hanya menggeliat sambil mengedip-edipkan
matanya yang terlihat lelah. Matanya menatapku seolah mengiba padaku agar aku
membantunya. Lalu apa yang bisa aku perbuat? Hanya menenangkannya ketika dia
mulai kebingungan. Meyakinkan bahwa dia tidak sendiri.
Usianya sudah tidak muda lagi. Mungkin saja dia hanya
menunggu giliran untuk pergi. Ya, siapa yang bisa menolak dijemput jika memang
sudah saatnya. Segala yang datang pasti akan pergi dan segala yang hidup pasti
akan mati. Semua makhluk hidup memang diberi hidup untuk merasakan kematian
suatu hari nanti. Sama seperti aku dan Moli. Tugasku saat ini hanya memastikan
agar Moli akan baik-baik saja sampai dia bisa melupakan Milo, anak kesayangannya yang masih berumur empat
bulan. Pasti Milo juga sangat kesepian tanpa ibunya.
Aku memangku Moli, sedikit memaksa untuk meminum susunya.
Kusendok dan kumasukkan pelan-pelan masuk ke mulutnya, “Seperti bayi saja,
Kau.” Mungkin terdengar seperti ejekan, tapi tepatnya lebih prihatin tentang
apa yang terjadi. Melihat keadaannya, aku menjadi merasa semakin takut menunggu
dan bertemu hari esok.
Bagaimana manusia bisa tertidur sejenak saat malam dan
terjaga keesokan harinya lalu berteriak pada diri sendiri di depan cermin:
“Semangat pagi. Saatnya menjalani hidup yang absurd.” Menyemangati diri sendiri
adalah hal yang paling mujarab sembari menunggu giliran kita dijemput.
Tiba-tiba Moli berlari. Berhenti di bawah pohon dan memastikan
apakah hujan sudah reda. “Sudahlah, Moli. Tidak usah keluar untuk mencari Milo
lagi,” tubuhnya segera melesat pergi dan mengabaikan teriakanku. Tindakan yang
sia-sia karena sebenarnya Moli tidak akan pernah bisa menemui Milo.
Satu hal lagi yang aku pahami kenapa dia mengabaikan
sekelilingnya. Bahkan sekalipun bahaya yang mungkin saja menunggunya. Bagaimana
bisa aku berpikir kalau dia tidak ingin menemukan kesayangannya? Dia yang
melahirkan dan beberapa bulan susu mengalir menjadi darah di tubuh Milo. Pasti
Moli sangat tertekan. Dia merasa telah berbuat kesalahan terbesar ketika
meninggalkan Milo sendirian dua bulan lalu. Tubuhnya yang masih rentan jatuh ke
dalam selokan dan tak ditemukan. Milo tidak akan bisa bertahan.
***
Tak berapa lama setelah Moli menghilang dari pandangan, aku
dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Ia sudah cukup lama tak menjengukku. Ya,
sudah enam bulan aku tidak menerima kunjungan dari siapapun. Mungkin mereka
sudah bosan dan merasa aku sudah bisa menerima keadaan dan mengatasi diriku
sendiri.
“Bagaimana
kabar Zen?” tak ada jawaban dari seseorang di depanku. Ia hanya balik bertanya
padaku, “Dimana, Moli? Biasanya dia menyambutku.”
“Dia mencari anaknya yang sebenarnya sudah mati. Menjelang
malam nanti pasti dia akan kembali.”
“Kenapa sampai anaknya mati?” pertanyaan itu membuat aku gemetar
“Dia meninggalkan anaknya terjatuh ke dalam selokan sampai
mati.”
“Ceroboh sekali dia.”
“Siapa yang tak pernah berbuat
kesalahan?” Aku bergumam dengan mata berkaca-kaca.
Seseorang itu mulai berbicara tentang bagaimana, kenapa,
seharusnya, dan penghakiman-penghakiman sepihak. Seseorang yang mulai mengambil
alih tugas Tuhan. Aku mulai tidak nyaman dan memintanya pulang karena kebetulan
jam berkunjung juga sudah habis.
“Tetap jaga kesehatan. Tak ada yang
bisa menolongmu kecuali Tuhan,” ucapan itu terdengar membosankan dan aku
sebenarnya juga ragu apakah aku masih mempercayai hal itu. Aku hanya mengangguk
karena aku tahu sebenarnya ia tak pernah ada niat buruk sedikitpun. Bahkan
selalu baik padaku.
***
Sepi itu sangat memuakkan. Aku menamainya sebuah kutukan
terlebih di tempat yang tidak pernah kita inginkan. Sampai pada saat Moli
mengangguku setiap malam dengan suaranya yang membuat telingaku sakit dan
tubuhku panas dingin. Dia selalu berada di bawah jendela kamar yang berhadapan
langsung dengan taman dan tidak akan pergi sampai aku memberinya guyuran air.
Sebenarnya ada perasaan tak tega, tapi aku juga tidak bisa mengontrol
ketakutanku pada binatang, lebih-lebih pada seekor kucing.
Phobia yang tak beralasan. Aku juga tak pernah tahu alasannya
kenapa phobia itu lenyap dan jadi begitu sayang dengan Moli. Pada akhirnya memutuskan
untuk merawatnya dan menjadikan dia sebagai sahabat. Mungkin satu-satunya
alasan adalah kami sama-sama memiliki rasa takut yang berlebihan. Takut
kesendirian, pengabaian, ataupun ditinggalkan. Bahkan sering merasa tidak
memiliki makna hidup. Ah, terlalu berlebihan rasanya. Apakah kucing juga bisa
merasakan itu? Ketika muncul pikiran itu, aku melempar pertanyaan pada Moli,”Sebenarnya
siapa menjaga siapa? Kau yang menjaga aku ataukah aku yang menjagamu?”, Tentu
saja Moli hanya mengeong dan meringkuk di pahaku.
Akhirnya aku dan Moli
tak menyoal hal itu. Kami saling menjaga. Sama seperti malam ini aku
menunggunya kembali. Berharap mendengar suaranya yang manja karena menemukan
kebahagiaan yang baru. Atau setidaknya melihat dia bisa menerima kenyataan
bahwa tidak akan bisa menemui Milo lagi.
Tapi kali ini aku melihat Moli masuk kamar dengan keadaan
yang mengejutkan. Dia berjalan gontai dan banyak darah di beberapa bagian
tubuhnya. Sepertinya dia terbabrak sebuah kendaraan ketika di jalan. Apa
mungkin dia sengaja menabrakkan dirinya karena putus asa? Duh, liar sekali
pikiranku.
Bergegas kugendong dia, membersihkan darah yang masih segar,
dan menutup tubuhnya dengan selimut. Setidaknya tubuhnya yang menggigil bisa
hangat dan segera tertidur untuk melupakan kekecewaannya. Meskipun pikiranku
kacau melihat keadaan Moli, tapi aku merasa dia akan baik-baik saja. Dia lebih
kuat dari aku dan akan tetap baik-baik saja sampai dia bisa melupakan Milo –
anak kesayangannya.
***
“Semangat pagi, Moli. Mari kita mulai menemui hidup yang
absurd ini,” Aku menggoyang-goyang perutnya yang tak gendut lagi. Tak ada
reaksi, tak ada gerakan, dan Moli mulai membuatku panik. Beberapa menit aku
tunggu respon dari tubuhnya tapi sia-sia saja. Sepertinya dia lebih awal
dijemput daripada diriku.
Meskipun aku selalu ketakutan, marah, dan benci jika
ditinggalkan tapi aku tidak menangis atas kepergiannya. Untuk apa? Toh aku sudah tahu semua makhluk akan
saling meninggalkan satu sama lain. Hanya caranya saja yang berbeda-beda. Aku
segera meminta bantuan pada seorang cleaning
service rumah sakit untuk membantuku. Mencarikan tempat yang tidak terlalu
jauh untuk menguburnya.
Dua hari setelah Moli pergi, aku melihat sekelebat wajah
dalam kamar. Wajah itu muncul dari dalam pigura yang aku tempel di semua sisi
dinding. Dalam pigura itu kami berdua nampak sangat akrab, tapi kenapa
sepertinya dia tak mengenalku. Lalu apakah aku harus memperkenalkan diri lagi
padanya? Apakah dia mau menggenggam tanganku atau bahkan memelukku? Apakah aku
masih bisa melihat senyum seperti dalam pigura itu? Apakah…, apakah…, apakah…,
apakah…
Tiba-tiba semua gelap. Aku tak dapat melihat apa-apa selain
melihat seutas tali menggantung dan berusaha memutus rantai hidup yang absurd.
[T]
0 Comments
Sangat senang mendapat jejak komentar dari Anda