Hari Minggu Bersama Penyintas ODB


Yang sangat identik dengan hari minggu di kota Surabaya adalah kegiatan car free day di daerah sekitar Jalan Darmo. Mungkin tak ada bedanya kegiatan ini seperti di kota kalian. Saya mencoba sedikit melakukan kegiatan yang berbeda dari biasanya. Ketika cek bensin motor lumayan cukup untuk jalan, maka setelah subuh saya putuskan untuk menyusuri sepanjang Jalan Darmo.

Taman bungkul adalah titik kumpul bagi semua pejalan kaki untuk menikmati minggu dengan sekedar jalan-jalan, senam, mencari sarapan seperti pecel, semanggi, atau soto yang berjajar di sekitarnya. Mereka terlihat bahagia dan memang begitulah seharusnya. Hidup harus terlihat bahagia dan selalu tersenyum. Untuk mendukung program diet, saya putuskan untuk tidak melirik segala menu yang tertangkap mata melainkan saya berjalan sepanjang jalan itu dan berhenti di 500 meter lalu mencari tempat duduk yang teduh. Tepat di depan halaman Kantor NU Building. Sebuah kerumunan para wanita adalah pemandangan yang sangat mudah ditebak. Salah satu brand ternama sebuah jilbab sedang menggelar diskon besar-besaran. Pengen menjauh sih, agar tidak terkena aura panas tapi saya melihat persis di belakang kerumunan itu ada sebuah acara yang membuat saya penasaran. Sebuah talkshow yang berlangsung tidak di indoor melainkan outdoor.

Sebuah talkshow memperingati World Bipolar Day 2019 yang dirayakan pada tanggal 30 Maret 2019 kemarin. Narasumber dari talkshow tersebut tentu beberapa pakar medis yaitu Dr. Nining Febriyana, Sp.Kj(K), seorang praktisi Universitas Airlangga yang berprofesi sebagai psikiater di Rumah Sakit Dr Soetomo dan salah satu utusan dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Dalam talkshow juga dihadirkan seorang penyintas ODB yaitu Marischa dari Waru, Sidoarjo.

Marischa berkisah tentang dirinya yang sudah hampir 24 tahun menghadapi kenyataan dirinya berbeda dengan teman lainnya. Sejak usia 8 tahun dia selalu mengalami tantrum dan dianggap oleh teman seusianya dan orang dewasa lainnya hal yang aneh. Bahkan dia semakin dijauhi oleh banyak teman karena sikapnya. Dengan latar belakang sebuah keluarga yang broken, ia selalu mendapat perlakuan yang berbeda dengan kedua saudaranya dari ibunya. Ia pendam dengan baik semua tanpa ia sadar bahwa ia menjadi temperamen dan moody. Merasa tak ada, tak dibutuhkan, tak dihargai, tak bermanfaat memicu ia melakukan beberapa kali percobaan bunuh diri. Sampai pada ia berusia 20 tahun dan ia relaps dan memutuskan untuk bunuh diri dengan cara meminum 60 butir pil sakit kepala dan minuman bersoda. Tuhan masih menjaganya dan ia mengetahui bahwa ia penyintas ODB. Ia menutup rapat dari semuanya termasuk dari suaminya dan setelah psikiater meminta ia mengundang suaminya untuk datang ke rumah sakit, saat itulah ia harus membuka semua penderitaannya. Beruntung suaminya ternyata caregiver yang sangat hebat sehingga ia tidak merasa sendiri. “I am nor alone,”ucapnya ditengah ceritanya pada acara tersebut.

Menurut Dr. Nining, bipolar tidak bisa kita diagnosa secara sembarang. Beberapa tahap tes juga konseling yang bisa meyakinkan bahwa seseorang mengalami ODB. Jadi, seseorang jangan sampai memvonis dirinya sendiri hanya karena setelah search tentang ODB dan mengetahui gejala yang muncul sama dengan yang dialaminya. Dr. Nining juga menyampaikan bahwa jika seseorang mengalami depresi belum tentu juga dikatakan ia penyintas ODB. Beberapa literatur yang ada di internet baik  tentang apa itu ODB, gejala, penyebab, jenis, sampai pada penanganannya memang benar adanya. Namun tentu saja ada beberapa tes bertahan yang memastikan dan meyakinkan seseorang menyingas ODB dan itu hanya bisa dideteksi bersama ahli medis (Psikiater).

Narasumber dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur menunjukkan sebuah data tentang penyintas ODB ini. Insiden gangguan bipolar ini berkisar 0,3%. Bisa dikatakan dari 1000 orang maka akan ada 3 orang penyintas ODB. Pihak Dinas Kesehatan juga menyampaikan sebuah data dari 57 ribu yang diketahui memiliki ODGJ yang dideteksi ODB sebanyak 45 orang. Masih banyak yang terlewatkan oleh pihak medis dan dinas kesehatan karena berbagai hal. Salah satunya adalah tidak pedulinya masyarakat dengan kesehatan jiwanya. Mereka cenderung menutup diri jika ada hal yang berbeda dan sebenarnya itu butuh bantuan untuk menanganinya. Lalu, apakah dengan begitu kita harus was-was dan serta merta memvonis apa yang terjadi pada perubahan pola laku kita? Tentu saja tidak.

Dinas kesehatan sudah menyediakan berbagai vasilitas untuk deteksi dini tentang ODGJ, salah satunya dinamakan Posyandu Kesehatan Jiwa. Masyarakat bisa memanfaatkan ini untuk cek secara berkala tentang kesehatan jiwa. Karena menurut beliau menjaga dan mencegah itu jauh lebih murah daripada mengobati. Kepedulian dari pihak keluarga dan masyarakat juga sangat berperan dalam mengatasi segala  permasalahan ODGJ.

Saya salut dengan perjuangan Marischa, dimana dia masih mau berusaha bertahan dan bangkit karena bully dan trauma masa lalu dari keluarga. Tak banyak orang seperti Marischa dan saya yakin dia adalah salah satu manusia yang sengaja tuhan biarkan bangkit agar banyak manusia terselamatkan dengan cerita hidupnya.

Minggu ini adalah hari yang terik dan menyebabkan kantuk sepanjang perjalanan pulang melewati Jalan Dinoyo dan saya putuskan untyk berhenti di sebuah minimarket membeli sebotol air mineral dan meneguknya di depan sebuah bangunan yang sudah nampak gelap dan sepi.

Post a Comment

0 Comments