Aku memutuskan untuk menemui Fa di hotel tua itu.
Aku meninggalkan tubuhku yang terbaring di ranjang dengan make up yang
belum kuhapus dari wajah. Aku juga melihat bibirku masih tersenyum seperti
biasanya dengan lipstik warna soft kesukaanku.
Kamar di salah satu hotel ini tak ada bedanya
dengan kamar dimana tubuhku sekarang terbaring. Ranjang dengan sprei yang
berantakan dengan buku dan beberapa note. Lampu meja yang menyorotkan cahaya
kuning ke seluruh dinding, juga langit-langit kamar. Aku sangat menyukai cahaya
lampu teduh yang selalu menemaniku menemui ibu dalam mimpiku—dan malam ini aku
juga menemui cahaya itu di kamar sebuah hotel dimana Fa menungguku. Wajah Fa
begitu bahagia. Lesung pipinya terlihat ketika ia tersenyum melihatku di depan pintu
kamar hotel, ketika tubuhku menghambur—memeluknya erat.
“Aku kangen,” sengaja kudekatkan bibirku pada
telinga Fa dan semakin mempererat pelukanku.
Tak begitu lama, Fa sedikit melepas pelukanku,
merenggangkan tubuh dan mata kami saling tatap. Mata yang sama-sama ingin
berkata bahwa saat ini kami bahagia. Fa begitu menikmati – melihat
wajahku yang tak bisa ia temui sesuka hatinya.
“Cukup lama aku menunggumu,” suara Fa membuatku
tersenyum manja.
Malam ini, aku tak ingin melewatkan sedetikpun
bahagia bersama Fa. Dan aku juga sangat yakin Fa merasakan hal yang sama. Aku
akan melakukan apapun untuk menebus ribuan malam yang selama ini hanya sebatas
imajinasi. Dan Fa menepati janji untuk menungguku.
“Apakah kau bahagia?” Tanya Fa penasaran. Sepertinya
ia mencari sebuah kepastian di wajahku.
“Ya, aku bahagia,” jawabku. Aku lupa kapan
terakhir merasa bahagia. Otakku sudah tak mampu lagi merangkai perjalanan
hidupku dengan utuh. Yang ada hanya ingatan-ingatan yang patah – peristiwa
berupa potongan-potongan gambar serupa puzzle. Kadang aku merasa gelisah ketika
gagal merangkai potongan puzzle itu menjadi utuh. Dalam kondisi seperti itu,
pasti aku mulai meracau liar. Aku ingin menukar otakku dengan otak seorang
cerpenis atau otak seorang penyair. Mungkin saja itu sedikit membahagiakan. Aku
akan bisa dengan bebas sembunyi dalam cerita pendek yang kutulis. membiarkan
semua air mataku berlarian dengan riang dalam puisi liris, juga tak perlu lagi
meninggalkan dunia yang selalu membenturkan realita dan ilusi.
Betapa selama ini aku selalu mengalah dengan
realita. Menemui manusia yang menjelma seekor kucing dan mengendus-endus,
menjilat demi memuaskan diri, melihat banyak orang yang lebih mementingkan
suara perut daripada suara hati, memaksakan diri menjadi wanita yang bahagia
dengan menyelimuti air mata dengan senyum. Betapa banyak topeng yang harus aku
pakai untuk hanya sekedar bertahan hidup. Menunggu pagi datang, kembali menjadi
malam, lalu menunggu pagi datang lagi. Yang sebenarnya aku telah mati, jauh sebelum
tubuhku berada dalam tanah gelap tanpa cahaya.
Fa tertawa terpingkal-pingkal. Mata sipitnya
semakin menyembunyikan bola matanya yang hitam. Mungkin saja kalau waktu itu
aku meninggalkannya, pasti Fa tak akan menyadari. Aku sedikit kesal ketika
melihat Fa tertawa, karena aku tak tahu apa yang membuatnya begitu
terpingkal-pingkal. Aku mengingat, dua tahun yang lalu, aku juga tertawa
seperti itu, ketika sahabatku yang bertubuh subur berkata,
"Kau butuh psikiater. Kau sakit." Aku
merasa geli dengan ucapan itu, meski mungkin saja benar apa yang dikatakannya.
Ya, aku memang butuh psikiater.
“Aku ingin menjadi burung Feniks dan pasti aku
akan bahagia ketika berhasil reinkarnasi setelah membakar tubuhku sendiri. Aku
ingin hidup lagi menjadi manusia yang tak pernah lari dari
ketakutan-ketakutan.”
"Hentikan bualanmu itu, kau hanya terlalu
banyak membaca cerita fiksi," sahabatku tak hentinya mengomel sambil terus
menghabiskan makanan yang ia pesan yang sekarang ada di atas meja kami. Ia
memang lebih suka menghabiskan makanan daripada menghabiskan air mata untuk
kesedihan.
***
“Kau ingin menjadi burung Feniks?" Tukas Fa
tiba-tiba sambil berusaha menatap lekat mataku. Aku mengangkat wajah sambil
menatap balik wajahnya dan aku mendesah lirih, "Hmmmm, ya,"
Aku ingin terbang bebas, berkicau, mengepakkan
sayap, mengais makanan sendiri tanpa merasa kakiku terpasung. Aku juga ingin
sembunyi dari lelaki yang mungkin saja malam ini tidur di samping tubuh yang
kutinggalkan di ranjang dalam kamarku.
Tak pernah jelas apa yang membuatku bertahan.
Setiap hari, aku hanya menjadi penghuni kamar dengan pendingin ruangan dan
beberapa gelas minuman penghangat tubuh. Aku belajar mengalah dengan realita
ketika lelaki itu tiba di rumah, dimana malam, siang, atau pagi sudah sangat
sulit dibedakan. Pertengkaranku dengan lelaki itu sangat melelahkan. Aku
meminta waktu dan lelaki itu membuang waktu. Bahkan pertengkaran itu selalu
berakhir dengan kami sama-sama melihat wajah seorang bocah yang pucat, terdiam
ketakutan.
Aku mulai bisa berdamai dengan realita. Ah, lebih
tepatnya mulai mengalah dengan realita. Aku mulai mengoleksi beberapa topeng
dengan ekspresi bahagia untuk kupakai setiap kali berada di keramaian dan
ketika tiba di kamar, kutanggalkan topeng itu. Sebenarnya aku juga ingin
melepas otakku, meletakkannya dalam toples kemudian memasukkannya dalam lemari
es. Setidaknya otakku akan menjadi dingin dan aku tak perlu memikirkan apapun.
Beberapa kali aku berhasil mengurungkan ide gila itu dengan menyibukkan diri
membuka laptop di atas meja yang letaknya persis di samping kanan ranjangku.
Membaca beberapa cerpen dan puisi yang selalu dikirim Fa padaku lewat whatsapp
atau email. Fa selalu bilang, "Membaca dan menulislah." Mulailah Fa
selalu mengirim beberapa cerpen dan puisi untuk kubaca dan Fa juga sering
mengajakku terbang ke langit di setiap malam-malam kami.
Aku benar-benar berdamai dengan realita.
***
Meski aku tahu bahwa diriku telah mati, jauh
sebelum tubuhku kaku dan tertutup oleh tanah, aku harus terus menjadi pemain
sinetron yang berhasil memenangkan berbagai penghargaan dan mendapatkan puluhan
piala citra. Di keramaian aku adalah sosok yang sempurna dan bahagia.
"Kau wanita yang sangat beruntung. Apa yang
kau minta selalu terpenuhi," ucap beberapa teman setiap kali kami terlibat
dalam percakapan. Terkadang aku sendiri merasa mual mendengar ucapan mereka,
tetapi sedikit terhibur ketika melihat semua wanita itu iri padaku. Ingatanku
saat ini hanya bayangan bocah dengan wajah pucat, terdiam ketakutan.
Aku semakin nyaman dengan kesendirian. Bagiku
sendiri itu lebih membahagiakan karena aku tak perlu menutup wajah dengan
topeng. Aku bebas menangis sepuasnya tanpa harus ada yang melihat mata sembab
atau tanpa ada orang yang selalu ingin tahu dengan bertanya ada apa? kenapa?
Aku ingin tidur nyenyak malam ini, ucapku dalam
hati sambil membaca puisi doa berulang-ulang, sampai aku benar-benar
meninggalkan malam—sendirian dan berharap keesokan paginya akan baik-baik saja.
Aku membuka mata dan ingin mengambil jam tangan
yang kuletakkan di atas meja rias, tapi tak kutemukan. Jam tangan itu
hilang dan aku tak tahu apakah hari masih malam atau sudah dini hari.
Satu-satunya penunjuk waktu bagiku adalah jam tangan yang selalu kupakai tanpa
pernah melepasnya. Karena semua manusia dalam rumahku tak butuh penunjuk waktu.
Tak ada satupun jam dinding yang menempel di setiap ruangan dan sekarang jam
tangan itu menghilang. Apakah lelaki itu juga yang membuangnya? Tak cukupkah ia
membuang waktu? Aku meraba pergelangan tangan kiriku yang tanpa jam dan hanya
ada darah segar mengalir di sana.
***
"Kenapa kau memilih bertahan?" Tanya Fa
suatu malam melalui whatsapp. "Kau takut miskin? Itu katamu," suara
Fa membuatku gemetar. Itu pertanyaan sederhana yang seharusnya mampu aku jawab,
tapi kenyataan aku tak mampu menjawabnya.
"Tak semudah itu, sayang." Aku menjawab
dan berusaha menyembunyikan suara tangisku.
"Kita pasti bisa bersatu." Suara Fa
kembali terdengar menenangkanku.
Besok malam aku menunggumu di hotel tua, lantai
dua kamar nomor 103. Fa mengirim pesan itu padaku. Dan aku sangat girang karena
sebentar lagi kami akan bertemu. Aku mulai membayangkan betapa bahagia ketika
meluapkan rasa sayang entah dengan cara apa.
Baiklah, aku akan datang. Aku membalas pesan itu
tanpa bisa menyembunyikan rasa bahagia. Aku tahu, saat ini kami tak mungkin
bertemu kapanpun dan di manapun sesuka kami. Melainkan harus dalam kondisi yang
benar-benar penuh pertimbangan. Sekuat apapun cinta, realita membatasi relasi
yang kami bangun.
Dan malam ini kami duduk di tepi ranjang sebuah
kamar hotel. Saling melepas perasaan masing-masing. Sesekali bibir Fa
menenangkan bibirku yang gemetar karena rasa takut. Aku merasakan dekapan Fa
sama hangatnya dengan puisi-puisi yang lahir dari tangannya.
"Kau bahagia, kan?" Fa mengulangi
pertanyaan itu. "Kau bahagia denganku, kan?
"Ya, kamu tahu itu." Jawabku. Aku tak
mungkin bisa menyembunyikan perasaan di depan orang yang benar-benar mampu
membuatku tenang.
Fa mengajakku bertualang ke langit. Tempat yang
selama ini ingin kami diami berdua, hanya berdua. Aku mengingat tubuh yang
kutinggalkan terbaring di ranjang dalam kamarku. Apakah tubuh itu masih
tersenyum? Apakah masih ada darah di pergelangan tangan kirinya? Aku
mengabaikan semuanya. Aku semakin jauh dari tubuhku dan itu membuatku bahagia
karena tak perlu lagi menghindar dari ketakutan-ketakutan, dari rasa sepi.
Malam ini, aku dan Fa bersatu
Kalau aku tak mampu melampaui realita, setidaknya
biarkan aku sembunyi dalam ilusi, ucapku sedikit berbisik pada Fa.
Fa terdiam. Bahkan ketika aku benar-benar
memutuskan untuk meninggalkan selamanya tubuh yang terbaring di ranjang dalam
kamarku. Fa sangat tahu, wanita yang ada di dekapannya saat ini sedang bahagia.
0 Comments
Sangat senang mendapat jejak komentar dari Anda