Film “Silver Linings Playbook” adalah film yang menceritakan tentang seseorang yang menderita ODB. Sapanjang saya menulis tentang apa yang ingin saya ikat dalam film ini, saya memutar lagu “Sing me to sleep” sangat keras. Hal ini adalah salah satu upaya untuk mematahkan apa yang saya takutkan sudah berlalu. Hmmm, abaikan saja ya.
Sekarang saya akan memberitahu kalian kalau film ini adalah film yang sangat bagus untuk dinikmati. Keberhasilan dari film ini ketika saya merasakan seolah masuk ke dalam tubuh para beberapa tokoh.
Pat Solitano yang diperankan oleh Bradley Cooper adalah seorang guru sejarah di salah satu sekolah menengah dan dokter mendiagnosa menderita bipolar. Ia tahu bahwa tak mudah menyandang ODB terlebih ia harus mendapati istrinya (Nikki) meninggalkannya setelah ia dikirim ke rumah sakit jiwa karena menyerang kekasih istrinya.
Dalam film inipun tak ada yang menunjukkan apakah pemicu sebenarnya penyakit ini. Yang pasti film ini saya rasa mampu membuka mata saya bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan penyandang ODB. Mereka hanya butuh dukungan dari orang-orang yang mereka anggap istimewa dan tak pernah menghakimi mereka.
Saya
sempat merasa sesak napas ketika melihat Pat Solitano datang ke tempat praktik
psikiaternya dan ia mendengarkan sebuah lagu yang diputar di ruang tunggu. Ia
langsung merasa terpancing dan lepas kendali karena lagu itu mengingatkan
tentang sesuatu.
Keunikan yang saya rasakan dalam film ini adalah bahwa tidak hanya tokoh utama saja yang mengalami gangguan mental, melainkan beberapa tokoh lainnya. Ayah Pat yang diperankan Robert De Niro juga memiliki kecenderungan OCD (Obssessive Compulsive Disorder), Tiffany yang pada akhirnya memiliki kedekatan dengan Pat juga mengalami depresi, Ronnie sahabat Pat yang terlihat memiliki keluarga semputna dan bahagia ternyata juga mengalami tekanan dan ia memutuskan untuk menyakiti diri sendiri ketika ia merasa tak nyaman dengan keadaannya (Masokis). Mereka memiliki cara masing-masing untuk bertahan dan mengatasi keganjlan dalam diri mereka.
Ada adegan yang juga membuat saya tersenyum sih, ketika Pat merasa terganggu dengan cerita A Farewell to Arms. Ia harus masuk ke kamar orang tuanya dini hari hanya untuk melampiaskan marahnya dan mengomel kenapa ending dalam cerita itu Ernest Hemingway harus membunuh Catherine Barkley. Ia teriak mengganggu tidur orang tuanya dengan berkata.
Keunikan yang saya rasakan dalam film ini adalah bahwa tidak hanya tokoh utama saja yang mengalami gangguan mental, melainkan beberapa tokoh lainnya. Ayah Pat yang diperankan Robert De Niro juga memiliki kecenderungan OCD (Obssessive Compulsive Disorder), Tiffany yang pada akhirnya memiliki kedekatan dengan Pat juga mengalami depresi, Ronnie sahabat Pat yang terlihat memiliki keluarga semputna dan bahagia ternyata juga mengalami tekanan dan ia memutuskan untuk menyakiti diri sendiri ketika ia merasa tak nyaman dengan keadaannya (Masokis). Mereka memiliki cara masing-masing untuk bertahan dan mengatasi keganjlan dalam diri mereka.
Ada adegan yang juga membuat saya tersenyum sih, ketika Pat merasa terganggu dengan cerita A Farewell to Arms. Ia harus masuk ke kamar orang tuanya dini hari hanya untuk melampiaskan marahnya dan mengomel kenapa ending dalam cerita itu Ernest Hemingway harus membunuh Catherine Barkley. Ia teriak mengganggu tidur orang tuanya dengan berkata.
”Why
can’t it have a happy ending?” dan kedua orang tuanya hanya tetap terbaring di
atas ranjang sambil menahan kantuk.
Endingnya dalam film inipun sebenarnya mampu membuat saya lega karena Pat telah menemukan sesuatu yang berharga dari Tiffany. Sebuah perasaan yang tulus sebagai wanita kepada laki-laki. Mereka paham ada hal yang berbeda dari orang lain dalam diri mereka, tetapi mereka saling mendukung untuk tetap berpikir positif. Dan akhirnya surat Pat kepada Tiffany ini membuat saya benar-benar tersenyum iri ☺
Endingnya dalam film inipun sebenarnya mampu membuat saya lega karena Pat telah menemukan sesuatu yang berharga dari Tiffany. Sebuah perasaan yang tulus sebagai wanita kepada laki-laki. Mereka paham ada hal yang berbeda dari orang lain dalam diri mereka, tetapi mereka saling mendukung untuk tetap berpikir positif. Dan akhirnya surat Pat kepada Tiffany ini membuat saya benar-benar tersenyum iri ☺
“Dear
Tiffany, I know you wrote the letter. The only way you could meet my crazy was
by doing something crazy yourself. Thank you. I love you. I knew it the minute
I met you. I'm sorry it took so long for me to catch up. I just got stuck.
Pat.”
Kalau
penasaran tonton saja, tapi jangan ikut hanyutkan perasaan ya. Hehehehe…….
So, “even when it is cloudy, there’s always silver linings.
So, “even when it is cloudy, there’s always silver linings.
0 Comments
Sangat senang mendapat jejak komentar dari Anda